"Terimakasih..."
Ujar lelaki berseragam
orange itu dan beranjak pergi meninggalkan Kakek Edgar yang -entah sudah
berapa kali membetulkan posisi kacamatanya.
Kakek Edgar adalah kakek
yang membesarkanku selama ini. Aku menganggapnya lebih dari sekedar seorang
pengasuh tua, bagiku ia adalah kakek yang sekaligus menjadi guru, ibu, ayah,
teman curhat bahkan apapun. Ia adalah harta istimewaku karena dia satu-satunya
keluarga yang aku punya.
Entahlah, sejak kecil aku enggan menanyakan kemana
ibuku? siapa ayahku? apakah mereka berdua kelak akan menemuiku? atau bahkan
mereka telah meninggal dunia sejak lama? entahlah... aku tak peduli dan
kakek-pun tak pernah menceritakan itu.
Ini sudah sangat larut
malam ketika kulihat kakek tak hentinya memandang amplop coklat yang didapatnya
senja tadi. Ini tidak biasa. Sungguh tidak biasa. Biasanya ketika lelaki
berseragam orange itu bertandang ke rumah, itu pertanda bahwa besok pagi aku
akan mendapatkan uang saku yang banyak dan tentunya kakek-pun tak akan bermuka
aneh seperti itu.
“Bahkan ini sudah sangat
lama” ujar kakek pelan.
“Apakah kita mendapatkan
berita buruk kakek?” tanyaku akhirnya. Setelah beberapa puluh menit menahan
rasa penasaran yang sangat menggebu.
“Lebih dari itu nak..
Kemarilah. Kakek akan menceritakan suatu hal kepadamu. Tapi sebelumnya kau
harus baca surat ini”
Aku menerima surat itu
gemetar. Semoga tak benar-benar berita buruk, semoga ini hanya sebuah
lelucon saja. Aku melihat nama pengirimnya, tersedak. Dibagian
belakang amplop itu tertulis “Kepada Kamu; Tertanda ‘Ain”.
0 komentar:
Posting Komentar